Hey, disini aku mau ngeshare cerpen buatanku. cerpen ini merupakan kisah yang pernah kualami. Disimak ya ^_^. Jgn lupa budayakan coment!
Betapa senangnya diriku karena akan
pulang kampung untuk mengunjungi rumah Mbah. Aku
kesana bersama keluargaku kecuali Masku karena
dia harus menjaga rumah. Kami kesana seperti biasanya menggunakan bus jurusan
Solo.
Akhirnya tibalah kami di rumah mbah
dan kami disambut dengan penuh gembira. Tetapi entah kenapa ada yang berbeda
dengan sikap Mbah Kakung, dia hanya terdiam saat aku
mencium tangannya. Tak seperti dulu, Mbah Kakung menyambutku dengan pelukkan hangatnya
dan mencium pipiku. Pada saat ibuku memberikan hadiah baju batik untuk mbah
kakung, beliau juga bersikap biasa saja.
Keesokkan harinya Bude dan Pakdeku yang di Jakarta juga datang ke
kampung karena mereka sudah lama sekali tidak berkunjung ke kampung. Sikap Mbah Kakung ke Bude juga aneh, seharusnya mbah Kakung menyambutnya
dengan penuh senyum karena sudah lama mereka tidak berjumpa.
Suatu hari aku disuruh Bapak untuk memotret Mbah dengan handphone
milikku. Kata Bapak, “ Vin, foto Mbah tuh! Mumpung Mbah lagi rapi nih lagi pake baju batik
buat kenang-kenangan.” Akupun
menuruti perintah Bapak untuk
memotret Mbah Kakung. Dua kali aku memotret beliau.
Sudah seminggu aku di kampung dan
akhirnya kami pun pulang ke Jakarta. Peristiwa haru pun terjadi, seperti biasa Ibu selalu meneteskan air mata dan Mbah Putri juga menangis. Biasanya Mbah Kakung suka berpesan kepada Ibu untuk jangan menangis, tapi ini
sungguh berbeda. Mbah hanya diam saja dan tak mengucapkan sepatah katapun. Diriku
bertanya-tanya dalam hati, “Sebenarnya
ada apa dengan mbahku? Kenapa mbah besikap aneh seperti itu?” Setelah pamit kami lalu menaiki mobil
untuk pergi ke terminal.
Keesokan harinya, kami mendengar kabar
dari Pakde, bahwa Mbah Kakung dirawat di rumah sakit dan butuh dioperasi
karena susah buang air kecil. Kamipun heran karena pada saat kami berkunjung
kesana Mbah Kakung tidak menunjukkan tanda apa-apa
kalau dia sakit. Bahkan, kemarin
beliau masih sempat mencari rumput
untuk sapinya dan masih merawat kebun kacangnya
yang berada di gunung. Mendengar kabar seperti itu Ibu panik. Ibu dan Bapak akhirnya
memutuskan pergi lagi ke
kampung untuk menjenguk Mbah Kakung. Aku dan Mas Ivan dirumah karena kami harus sekolah jadi
kami tidak bisa ikut. Akupun hanya bisa
berdoa semoga Mbah Kakung diberi kesembuhan. Amien…
Seminggu kemudian Bapak pulang ke rumah. Ibu tidak ikut
pulang ke rumah karena harus menjaga Mbah Kakung. Akupun langsung bertanya, “Pak,
gimana kabar mbah? Sudah mulai membaik belum?” Bapakpun menjawab, “Sudah kok, sudah
agak mendingan kemarin abis dioperasi. Tinggal makannya aja yang agak susah
soalnya kalau pengen
makan katanya mual.”
Beberapa hari kemudian Ibuku pulang ke rumah dan aku kembali
bertanya kepada Ibu, “Ibu Mbah Kakung gimana kabarnya? Ibuku menjawab,
“ Sudah baikan, mbah sudah mau makan. Sekarang lagi coba ikut terapi biar cepet sembuh. Doain mbah
aja biar diberi kesembuhan!” Aku membalas doa ibu, “Amien…”
Beberapa minggu kemudian, kring...kring... terdengar bunyi telpon pada saat
maghrib. Ketika aku mendengar suara telpon itu entah kenapa hatiku tiba-tiba gelisah.
Aku tidak tahu sebenarnya kenapa perasaanku tidak enak seperti ini. Ibu lalu menerima telpon itu, ternyata dari Pakdeku. Ibu bertanya, “ Assalamualaikum Mas, ada apa?” Pakde berkata
sambil menangis, “Pulang!
Pulang!” Ibupun lalu menangis. Aku bertanya pada ibu, “
Kenapa bu? Kok ibu disuruh pulang?” Ibu tidak menjawab pertanyaanku itu karena
panik dan langsung buru-buru untuk membereskan pakaian. “ Sebenarnya ada apa
sih? Kenapa ibu menangis dan panik seperti itu? Sebenarnya ada apa dengan Mbahku? Jangan-jangan ini semua ada
hubungannya dengan perasaanku yang tidak enak seperti ini atau ini semua ada
hubungannya dengan mbah.” hatiku semakin gelisah dan aku takut, takut akan kehilangan seseorang yang aku sayangi. Aku
bertanya lagi kepada Ibu, “ Bu, Vina
sama Mas Ivan ikut ngga?” Ibu menjawab, “Sudah kamu sama Mas Ivan nggak usah
ikut, di rumah
aja! Besok kan kamu sekolah.” Ibu dan Bapak akhirnya pergi ke kampung dengan
menggunakan bus.
Di rumah, akupun terus menangis. Aku tak kuat
lagi membendung air mata ini. Sungguh, aku takut kalau apa yang aku fikirkan
jadi kenyataan. Lalu aku teringat akan foto mbah yang ada di handphoneku, akupun
melihatnya dan menangis. Akupun berdoa, ” Ya Allah dengarkan doaku ini. Aku
hanya meminta bila Engkau telah mencabut nyawa Mbahku, tempatkanlah dia ketempat yang
tentram dan indah yaitu surga-Mu. Amien..”
Seminggu kemudian bapak pulang. Lalu aku
bertanya,” Pak, memangnya benar mbah kakung udah nggak ada?” Kata Bapak, “ Iya Vin, Mbah udah nggak ada. Kemarin pas nyampe sana Mbah sudah mau dikubur. Terus yang nyelawat
banyak banget. Tapi amat disayangkan anak mbah yang mukanya mirip banget sama
mbah nggak dateng. Padahal dia jarang banget
pulang kampung untuk berkunjung ke rumah Mbah. Kata Pakde juga waktu Mbah Kakung meninggal, kejadiannya pas
maghrib dan kebetulan sedang hujan. Waktu itu Pakde habis melaksanakan sholat maghrib,
terus Mbah Putri sedang mengambil air wudhu untuk
sholat maghrib. Ketika Pakde kembali
menjaga mbah kakung ternyata Mbah Kakung sudah tidak bernyawa lagi. Badannya
sudah terbujur kaku dan pucat.
Pakde lalu teriak-teriak manggil Mbah Putri untuk bilang kalau Mbah Kakung sudah meninggal. Sebelum mbah
berpulang, dikampung tuh lagi musim kemarau sampai air sumurnya tinggal sedikit
terus setelah mbah kakung udah nggak ada
langsung turun hujan.” Akupun berkata, “Alhamdulillah Pak, ternyata Mbah pergi membawa berkah.”
Mbah memang orang yang baik selama
hidupnya. Beliau jarang marah-marah sama anak-anaknya dan beliau juga
menyayangi cucu-cucunya. Mbah memang orang yang penyanyang dan bijaksana.
Beliau merupakan orang yang dikagumi banyak orang terutama dikampung. Aku
bangga punya kakek seperti beliau.
Setahun kemudian, aku, ibu, dan Mbah Putri datang ke tempat peristirahatan Mbah Kakung untuk mendoakan Mbah sambil membawa kembang dan air kembang
untuknya. Sebenarnya aku tak sanggup untuk pergi kesana. Diperjalan mataku
sudah berkaca-kaca. Tapi aku berusaha kuat untuk tidak menangis. Sampailah
ditempat pemakaman Mbah berada.
Kulihat diantara banyak makam terdapat sebuah makam yang masih berbentuk
gundukan tanah dengan banyak rumput diatas gundukan tanah itu. Ya, disana
tempat Mbah tinggal sekarang dan selamanya ke alam yang
lebih tenang.
Aku pun berdoa “Ya Allah Yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang berikanlah Dia ketenangan dialam kuburnya. Ampunilah
segala dosa-dosanya dan katakan padanya bahwa kami disini meridukannya. Amien
Ya Robbal Alamin
Mbah yang tenang ya di alam sana. Aku, Mbah Putri, Ibu, Bapak,
Mas Ivan, Pakde, Bude dan semuanya selalu mendoakan mbah. Terima kasih ya Mbah,
karena mbah telah memberikan kenangan indah bagi kami semua. Mbah, aku akan
selalu merindukanmu…